Pada postingan kali ini saya akan membahas mengenai
hak dari konsumen dalam segala bidang yang tertuang pada perundang-undangan
yang telah diatur oleh pemerintahan Indonesia.
I. Pengertian dan tujuan
Perlindungan konsumen adalah
perangkat hukum
yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen.
Tujuan Perlindungan Konsumen:
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi serta akses untuk memperoleh informasi; Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha, sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggungjawab dalam penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi serta akses untuk memperoleh informasi; Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha, sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggungjawab dalam penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
UU Perlindungan Konsumen Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih
barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan
atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila
barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Di indonesia , dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
Di indonesia , dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21
ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
2. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun
1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
3. Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
4. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan
Alternatif Penyelesian Sengketa
5. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang
Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No.
235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada
Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri
No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.
Dan sanksi pidana
yang diancam oleh negara bisa dilihat pada pasal 62 Undang-undang No. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diantaranya : Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah)
terhadap :
pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang
yang tidak sesuai dengan berat,
jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut
( pasal 8 ayat 1 ); pelaku
usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1); memperdagangkan barang rusak, cacat, atau
tercemar ( pasal 8 ayat 2 ); pelaku
usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau
perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b )
Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap
:
pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan
mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang
sebelum melakukan obral; pelaku
usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu
yang telah diperjanjikan; pelaku
usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai
resiko pemakaian barang/jasa
II. Contoh kasus
Kasus yang saya akan angkat pada posting kali
ini adalah kasus yang mendera saudara-saudara kita yang berada di daerah Depok
tercinta, kasus yang saya akan angkat adalah kasus yang di 2 tahun yang
berbeda, namun pada tempat yang sama yaitu Grand Depok City pada tahun 2011 dan
2012, kasus ini saya angkat karena masih terniang di benak saya apakah kasus
ini perlu campur tangan dari pihak yang bewenang dalam menangani hak-hak
konsumen untuk menyelesaikannya ataukah cukup antara kedua belah pihak yang
bersangkutan, sehingga saya ajak para pembaca terkhusus mahasiswa gunadarma
untuk memberikan saran dan tanggapan mengenai kasus ini. Kasus yang pertama
tahun 2011 adalah Kasus promosi yang dilakukan pihak GDC yang tak sesuai dengan
realisasinya.
Di
tahun 2011 lalu ada sebuah kasus yang menarik untuk diperbincangkan
yaitu bermula trik promosi yang dilakukan oleh pengembangdibidang perumahan
Grand Depok City (GDC), bahwa mereka membuat iklan
promosi dengan Uang Muka (DP) sebesar Rp.15 Juta, maka konsumen sudah
bisa mendapatkan rumah kreditan antara 10 tahun sampai dengan 15 tahun.
Bahkan
dalam promosi iklan tersebut, membuat kebijakan apabila dalam waktu yang
ditentukan oleh mereka para konsumen bisa menyetorkan uang sebesar Rp.5 juta sebagai tanda
jadi, maka akan mendapatkan Hand Phone (HP)
merek Black Berry (BB) sebagai hadiah langsung dari pengembang GDC
tersebut.Bahkan dari DP Rp.15 juta tersebut nantinya pengembang GDC akan
mengembalikan uang sebesar Rp.5 juta terhadap komsumen itu. Dan akhirnya warga
masyarakat berlomba-lomba untuk datang ke Kantor Pemasaran GDC diareal Kawasan
Kota Kembang tersebut, dengan menyetorkan uang Boking sebesar Rp.5 juta.
Namun
dalam proses perjalanan, setelah pihak Bank
melakukan wawancara, maka disetujuilah akadkredit
sebesar Rp.200 juta. Namun setelah persetujuan dari pihak Bank tersebut selaku
kreditur, ternyata pihak pengembang GDC, mengadakan perubahan persyaratan
secara sepihak yang sudah diperjanjikan itu. Ternyata DPnya
bukanlah sebessar Rp.15 juta, seperti yang sudah disepakati, namun DPnya
berubah menjadi kurang lebih Rp.100 juta.Pada akhirnya banyak konsumen yang
sudah memberikan uang Boking sebesar Rp.5 juta merasa kesulitan untuk memenuhi
permintaan dari team pemasaran GDC tersebut. berbagai konsumen, tentu mau
minta uangnya kembali yang sudah disetorkan sebesar Rp.5 juta. Akan tetapi
pihak pengembang GDC berdalih, dengan mengatakan bahwa uang tersebut tidak utuh
lagi untuk dikembalikan kepada konsumen. Tapi harus kena potong sebesar Rp.3
juta/ konsumen. Alasan GDC melakukan pemotongan sebesar Rp.3 Juta adalah bahwa
HP merk BB yang sudah diberikan oleh GDC tersebut dianggap harganya senilai
Rp.3 juta.
Tidak
seharusnya GDC dengan membuat promosi dengan mengumbar janji-janji yang
menggiurkan kepada publik. Maka konsekwensinya adalah apakah masyarakat semua
mampu dengan DP sebesar Rp.100 juta, padahal sebelumnya dijanjikan DP hanya
sebesar. Rp.15 juta. Maka berbagai konsumen mengatakan bahwa tindakan daripada
pemasaran pengembang GDC diduga adalah trik penipuan dengan aksi
kebohongan publik. Maka pada waktu itu para konsumen GDC yang meresa dirugikan
melaporkan masalah tersebut kepada Badan Perlidungan Konsumen Indoenesia
(BPKI), karena pengembang diduga telah menipu dan membohongi
konsumen. (sentanaonline.com)
Tidak
berhenti sampai disitu masih Grand Depok City tahun 2012 terjadi hal yang
serupa namun Kasus ditahun 2012 ini “Pengembang Perumahan Grand Depok City Diduga
Bohongi Pembeli”. Judul tersebut saya ambil dari www.lensaindonesia.com
“pengembang
perumahan yang diduga sengaja melakukan aksi ingkar janji dan tidak
melaksanakan serah terima rumah dengan pembeli. Tujuannya, agar perjanjian
tersebut batal.
Sehingga
pengembang dapat memasarkannya kembali dengan perhitungan harga jual yang lebih
tinggi. Karena harga penjualan pasar akan naik jika pembangunan sudah mulai
selesai dan di beberapa rumah lain sudah ada yang terjual”.Hal ini dialami
Nazmiyah Sayuti yang ingin memiliki sebuah rumah di Grand Depok City, namun
hingga pada tahun 2012 tak kunjung terwujud. Alih-alih dijanjikan pengembang
untuk dibangunkan sebuah rumah, uang muka dan cicilan yang sudah dibayarkan
oleh Nazmiyah sejak januari 2003. Sayangnya, uang tersebut tidak dikembalikan
hingga 2012. Sudah 9 tahun lebih Nazmiyah belum juga memperoleh rumah yang
dijanjikan.
Persoalan
itu bermula ketika Nazmiyah mengadakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
dengan pengembang tertanggal 22 Januari 2003 atas pembangunan objek tanah
seluas 237 M2 dan luas bangunan 55 M2 yang dijanjikan oleh pengembang proses
pembangunannya selesai selama enam bulan. Namun hingga batas waktu yang
dijanjikan, pengembang tak kunjung menyelesaikannya. Padahal Nazmiyah selaku
konsumen selalu melaksanakan kewajibannya tepat waktu untuk membayar cicilan
melalui fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR). “Hal seperti ini adalah modus
bagi pengembang untuk memainkan harga pasar dan mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya,” kata Virza Roy Hizzal, kuasa hukum Nazmiyah Sayuti kepada
LICOM, Minggu (10/6/2012).
Menurutnya,
kasus seperti yang dialami kliennya di Grand Depok City, sebenarnya ada banyak.
Kliennya bersama-sama korban lain sekitar 200-an orang pernah melakukan
pengaduan ke Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), namun pada
akhirnya para korban berjalan sendiri-sendiri untuk memperjuangkan kasusnya.
Virza
menyebut pelaku usaha seperti itu adalah bagian dari Mafia Properti. “Jika
mafia-mafia seperti ini dibiarkan, yang rugi adalah masyarakat. Kliennya
berjuang bukan hanya untuk dirinya sendiri, namun lebih luas untuk mengingatkan
masyarakat agar hati-hati dalam membuat kontrak perjanjian dengan pengembang.
Biasanya kontrak tersebut isinya tidak seimbang dan cenderung merugikan
konsumen,” ungkapnya. @hidayat
III.
Kesimpulan
Dari dua kasus diatas Grand Depok City “pengembang” melakukan
pelanggaran yaitu UU Perlindungan Konsumen Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak
untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan
barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila
barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Pada tahun kasus oleh GDC belum dilakukan. Namun kita tidak tahu bagaimanakah
wajah GDC di tahun sekrang dengan fisiknya yang terus di poles kita harapkan
GDC dapat memberikan pelayanan yang maksimal untuk masyarakat umum. Dan pihak
yang berwenang dalam perlindungan knsumen harus ikut serta dalam setiap masalah
mengenai hak konsumen.
Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen